Pages

Minggu, 31 Agustus 2014

Kenapa harus berzakat..?


”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Al Baqarah: 110)
 Mengapa saya harus berzakat? Bukankah uang yang ada di dompet, di celengan, atau di bank adalah uang saya, hasil jerih payah saya, tidak ada urusan dengan orang lain? Bukankah ketika kita rugi, orang lain pun tidak mau tahu? Tetapi, mengapa ketika giliran mendapatkan keuntungan, kita harus memberikannya kepada orang lain? Kok enak betul! Boleh jadi, pertanyaan semacam ini hadir dalam benak kita. Mengapa harus membayar zakat?
 
 Kedudukan Harta dalam Islam
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu kedudukan harta dalam Islam. Selama hidup di dunia, kita akan selalu dikelilingi oleh hal-hal atau benda-benda yang kita klaim sebagai milik kita. Keluarga, rumah, pekerjaan, pancaindera, harta, ilmu pengetahuan, keahlian, dan sebagainya semua kita sebut sebagai milik kita. Akan teapi, benarkah itu semua milik kita? Sejak kapan semua itu menjadi milik kita?
Memang, berbagai perangkat keduniaan, semisal surat-surat resmi, bisa menjadi bukti bahwa keluarga, pekerjaan, tanah, dan sebagainya itu adalah milik kita. Akan tetapi, status kepemilikan kita adalah pemilik nisbi. Pemilik mutlak dari segala sesuatu hanyalah Allah Swt. Bahkan, diri kita yang lemah ini pun adalah milik-Nya.
Kenyataan bahwa kita bukanlah pemilik mutlak seringkali kita lupakan, sampai-sampai kita bersikap seolah-olah harta itu adalah milik kita sepenuhnya sehingga kita memperlakukannya sekehendak hati, bukan sekehendak Zat Pemilik mutlak. Kita sering lupa bahwa harta (dan apa pun yang ada) hanyalah sebentuk titipan dari Allah Swt. Sejatinya, di balik itu ada tanggung jawab, ada amanah, bahkan ada sebagian darinya milik orang lain yang harus kita salurkan kembali. 
Saat pertama kali menyebarkan Islam di Mekah, salah satu misi Rasulullah saw. adalah memberantas sikap kebergantungan kepada materi yang menjangkiti masyarakat Arab. Mereka begitu terlena dalam pusaran materialisme sehingga sikap dan pandangan hidupnya senantiasa diwarnai cara pandang materialistis.
Itulah sebabnya dakwah Rasulullah tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Mereka tidak peduli kepada seruan Nabi bukan karena apa yang beliau sampaikan tidak masuk akal atau karena Nabi adalah orang yang tidak bisa dipercaya, melainkan karena Nabi bukan dari golongan kaya (pada waktu itu, Klan Hasyim, keluarga Rasulullah, sedang menurun pamornya). Kaum kafir Mekah hanya ingin mendengarkan kata-kata dari mereka yang berharta. Jadi, begitu kuat pesona harta benda hingga ia mampu menutup cahaya Ilahi (hidayah). 
Karena itu, ada beberapa hal yang harus dicamkan oleh seorang Muslim dalam menyikapi harta benda, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.            Harta adalah anugerah dari Allah Swt. yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah untuk memikul amanah harta benda. Karena itu, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang sangat besar sudah menanti. 
b.            Harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap kondisi —entah itu baik atau buruk— yang kita alami harus kita hadapi dengan baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Di balik harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang harus kita tunaikan. Harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah akan menjadi kotor karena bagian halal yang merupakan hak pemiliknya dengan bagian haram yang merupakan hak kaum fakir, miskin, dan orang-orang yang kekurangan lainnya telah bercampur. Allah Swt. berfirman, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. at- Taubah 9: 103).
c.            Harta adalah ujian. Ujian bukan hanya kemiskinan. Kekayaan pun merupakan ujian yang sangat berat. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi pada cara menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia. Tujuan di balik itu hanya satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya. Bagi yang berharta, tentunya, ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan terhadap harta tersebut.
d.            Harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai. Allah Swt. menciptakan beraneka ragam hiasan hidup bagi manusia. Keluarga, anak, dan harta benda termasuk di dalamnya. Dengan adanya hiasan, hidup menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya dan lupa pada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu hakikatnya adalah titipan dan ujian. “Sesungguhnya, harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar” (Q.S. At Taghabuun 64: 15).
e.            Harta adalah bekal ibadah. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Karena itu, segenap perangkat duniawi, baik yang materiil maupun yang nonmateriil, tercipta sebagai sarana yang bisa digunakan manusia untuk beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana ibadah. Ia bukan hanya menjadi ibadah manakala dinafkahkan di jalan Allah, melainkan juga sudah bernilai ibadah manakala manusia mencari nafkah untuk keluarganya dan selebihnya untuk kemaslahatan umat dengan ikhlas. Jika harta dipergunakan sebaik-baiknya, pahala yang amat besar menanti. Namun, jika tidak, siksaan Allah sangatlah pedih.
Islam sangat menekankan harta benda sebagai kepemilikan yang tidak terpusat pada satu atau segolongan orang. Namun, hal itu tidak lantas dipahami bahwa Islam mengabaikan sama sekali hak individu untuk menikmati harta yang telah diusahakannya dengan susah payah. Allah Swt. menegaskan dalam Al Qur’an, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal” (Q.S. Al Israa’ 17: 29)

0 komentar:

Posting Komentar