”Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi
Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Al Baqarah: 110)
Mengapa
saya harus berzakat? Bukankah uang yang ada di dompet, di celengan, atau
di bank adalah uang saya, hasil jerih payah saya, tidak ada urusan
dengan orang lain? Bukankah ketika kita rugi, orang lain pun tidak mau
tahu? Tetapi, mengapa ketika giliran mendapatkan keuntungan, kita harus
memberikannya kepada orang lain? Kok enak betul! Boleh jadi, pertanyaan semacam ini hadir dalam benak kita. Mengapa harus membayar zakat?
Kedudukan Harta dalam Islam
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu kedudukan harta dalam Islam. Selama
hidup di dunia, kita akan selalu dikelilingi oleh hal-hal atau
benda-benda yang kita klaim sebagai milik kita. Keluarga, rumah,
pekerjaan, pancaindera, harta, ilmu pengetahuan, keahlian, dan
sebagainya semua kita sebut sebagai milik kita. Akan teapi, benarkah itu semua milik kita? Sejak kapan semua itu menjadi milik kita?
Memang,
berbagai perangkat keduniaan, semisal surat-surat resmi, bisa menjadi
bukti bahwa keluarga, pekerjaan, tanah, dan sebagainya itu adalah milik
kita. Akan tetapi, status kepemilikan kita adalah pemilik nisbi. Pemilik
mutlak dari segala sesuatu hanyalah Allah Swt. Bahkan, diri kita yang
lemah ini pun adalah milik-Nya.
Kenyataan
bahwa kita bukanlah pemilik mutlak seringkali kita lupakan,
sampai-sampai kita bersikap seolah-olah harta itu adalah milik kita
sepenuhnya sehingga kita memperlakukannya sekehendak hati, bukan
sekehendak Zat Pemilik mutlak. Kita
sering lupa bahwa harta (dan apa pun yang ada) hanyalah sebentuk
titipan dari Allah Swt. Sejatinya, di balik itu ada tanggung jawab, ada
amanah, bahkan ada sebagian darinya milik orang lain yang harus kita
salurkan kembali.
Saat
pertama kali menyebarkan Islam di Mekah, salah satu misi Rasulullah
saw. adalah memberantas sikap kebergantungan kepada materi yang
menjangkiti masyarakat Arab. Mereka begitu terlena dalam pusaran
materialisme sehingga sikap dan pandangan hidupnya senantiasa diwarnai
cara pandang materialistis.
Itulah
sebabnya dakwah Rasulullah tidak mendapatkan perhatian sebagaimana
mestinya. Mereka tidak peduli kepada seruan Nabi bukan karena apa yang
beliau sampaikan tidak masuk akal atau karena Nabi adalah orang yang
tidak bisa dipercaya, melainkan karena Nabi bukan dari golongan kaya (pada waktu itu, Klan Hasyim, keluarga Rasulullah, sedang menurun pamornya).
Kaum kafir Mekah hanya ingin mendengarkan kata-kata dari mereka yang
berharta. Jadi, begitu kuat pesona harta benda hingga ia mampu menutup
cahaya Ilahi (hidayah).
Karena
itu, ada beberapa hal yang harus dicamkan oleh seorang Muslim dalam
menyikapi harta benda, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Harta adalah anugerah dari Allah Swt. yang harus disyukuri.
Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah untuk memikul
amanah harta benda. Karena itu, ia harus disyukuri sebab jika mampu
memikulnya, pahala yang sangat besar sudah menanti.
b. Harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap kondisi —entah itu baik atau buruk— yang kita alami harus kita
hadapi dengan baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Di balik
harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang harus kita tunaikan.
Harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah akan menjadi kotor karena
bagian halal yang merupakan hak pemiliknya dengan bagian haram yang
merupakan hak kaum fakir, miskin, dan orang-orang yang kekurangan
lainnya telah bercampur. Allah Swt. berfirman, ”Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan
dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. at- Taubah 9: 103).
c. Harta adalah ujian.
Ujian bukan hanya kemiskinan. Kekayaan pun merupakan ujian yang sangat
berat. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi pada cara
menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia. Tujuan di balik itu
hanya satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya.
Bagi yang berharta, tentunya, ada kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan terhadap harta tersebut.
d. Harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai. Allah Swt. menciptakan beraneka ragam hiasan hidup bagi manusia. Keluarga, anak,
dan harta benda termasuk di dalamnya. Dengan adanya hiasan, hidup
menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu
sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa
kepada-Nya dan lupa pada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu
hakikatnya adalah titipan dan ujian. “Sesungguhnya, harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar” (Q.S. At Taghabuun 64: 15).
e. Harta adalah bekal ibadah.
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt.
Karena itu, segenap perangkat duniawi, baik yang materiil maupun yang
nonmateriil, tercipta sebagai sarana yang bisa digunakan manusia untuk
beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana ibadah. Ia bukan hanya
menjadi ibadah manakala dinafkahkan di jalan Allah, melainkan juga sudah
bernilai ibadah manakala manusia mencari nafkah untuk keluarganya dan
selebihnya untuk kemaslahatan umat dengan ikhlas. Jika harta
dipergunakan sebaik-baiknya, pahala yang amat besar menanti. Namun, jika
tidak, siksaan Allah sangatlah pedih.
Islam
sangat menekankan harta benda sebagai kepemilikan yang tidak terpusat
pada satu atau segolongan orang. Namun, hal itu tidak lantas dipahami
bahwa Islam mengabaikan sama sekali hak individu untuk menikmati harta
yang telah diusahakannya dengan susah payah. Allah Swt. menegaskan dalam
Al Qur’an, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya sehingga kamu menjadi
tercela dan menyesal” (Q.S. Al Israa’ 17: 29)
0 komentar:
Posting Komentar